Indonesia, sebagai negara kepulauan tropis dengan hamparan hutan dan lahan gambut yang luas, selalu menghadapi ancaman kebakaran hutan dan lahan (karhutla), terutama saat musim kemarau tiba. Tahun ini, dengan proyeksi fenomena iklim El Nino yang berpotensi memicu kekeringan ekstrem dan berkepanjangan, kekhawatiran akan eskalasi karhutla serta dampak kabut asapnya kembali membayangi. Fenomena ini tidak hanya merusak ekosistem vital dan keanekaragaman hayati yang kaya, tetapi juga menimbulkan dampak serius terhadap kesehatan masyarakat, mengganggu aktivitas perekonomian, serta berpotensi memicu ketegangan diplomatik regional, menuntut kesiapsiagaan dan respons yang komprehensif dari berbagai pihak.

Siklus Kebakaran yang Diperparah El Nino dan Perubahan Iklim

Karhutla di Indonesia seringkali merupakan hasil dari kombinasi kompleks antara faktor alam dan aktivitas manusia. Secara alami, hutan tropis memang mengalami periode kering, namun kondisi ini diperparah oleh fenomena El Nino. El Nino adalah pola iklim periodik yang menyebabkan suhu permukaan laut di Pasifik bagian tengah dan timur menghangat, berdampak pada perubahan pola curah hujan global, termasuk di Indonesia yang cenderung mengalami musim kemarau yang lebih panjang dan intens. Tanah gambut, yang melimpah di sebagian besar Sumatera dan Kalimantan, menjadi sangat rentan terbakar saat kering, dan api dapat menjalar di bawah permukaan selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan, menghasilkan asap tebal dan sulit dipadamkan.

Perubahan iklim global juga memainkan peran krusial. Peningkatan suhu rata-rata global dan perubahan pola cuaca ekstrem menciptakan kondisi yang lebih kondusif bagi terjadinya kebakaran. Musim kemarau menjadi lebih panas dan lebih kering, memperpanjang durasi risiko kebakaran. Meskipun banyak karhutla dipicu oleh praktik pembukaan lahan dengan cara membakar, baik disengaja maupun tidak disengaja, kondisi iklim yang ekstrem ini membuat api lebih mudah menyebar dan sulit dikendalikan. Pola berulang kebakaran besar, seperti yang terjadi pada tahun 2015 dan 2019, menunjukkan urgensi untuk mengatasi akar masalah dan memperkuat adaptasi terhadap kondisi iklim yang semakin tidak menentu.

Dampak Lintas Sektor: Kesehatan, Ekonomi, dan Lingkungan

Dampak karhutla tidak terbatas pada wilayah yang terbakar, melainkan merambat ke berbagai sektor kehidupan. Secara kesehatan, kabut asap tebal yang dihasilkan oleh kebakaran, terutama dari pembakaran gambut, mengandung partikel-partikel mikroskopis berbahaya (PM2.5) yang dapat menembus sistem pernapasan manusia. Ini menyebabkan peningkatan drastis kasus Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), asma, dan masalah kesehatan lainnya, terutama pada kelompok rentan seperti anak-anak dan lansia. Kualitas udara yang buruk juga mengganggu aktivitas luar ruangan dan produktivitas.

Dari sisi ekonomi, kabut asap mengakibatkan kerugian yang tidak sedikit. Sektor transportasi, khususnya penerbangan, seringkali lumpuh karena jarak pandang yang minim, menyebabkan pembatalan dan penundaan jadwal. Sektor pertanian dan perkebunan menderita kerugian akibat gagal panen dan kerusakan lahan. Pariwisata juga ikut terimbas karena wisatawan enggan berkunjung ke daerah yang diselimuti asap. Secara keseluruhan, biaya pemulihan kesehatan, kerugian produktivitas, dan kerusakan infrastruktur dapat mencapai triliunan rupiah.

Secara lingkungan, karhutla menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati, termasuk spesies endemik yang terancam punah. Pembakaran hutan melepaskan jutaan ton karbon dioksida dan gas rumah kaca lainnya ke atmosfer, mempercepat laju perubahan iklim. Kerusakan ekosistem gambut membutuhkan waktu puluhan hingga ratusan tahun untuk pulih sepenuhnya, mengancam fungsi vitalnya sebagai penyimpan karbon dan pengatur tata air. Lebih jauh, kabut asap lintas batas seringkali menjadi isu sensitif dalam hubungan diplomatik dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia dan Singapura, yang turut merasakan dampak polusi udara.

Strategi Mitigasi dan Adaptasi: Tantangan dan Harapan

Pemerintah Indonesia, bersama berbagai pemangku kepentingan, telah dan terus melakukan berbagai upaya mitigasi dan adaptasi untuk menanggulangi karhutla. Strategi pencegahan menjadi prioritas utama, meliputi patroli darat dan udara untuk deteksi dini titik api, sosialisasi bahaya membakar lahan kepada masyarakat, serta pemberdayaan Masyarakat Peduli Api (MPA) di tingkat desa. Restorasi ekosistem gambut dan reforestasi di area yang rentan juga menjadi fokus penting untuk mengurangi kerentanan terhadap kebakaran.

Dari sisi penegakan hukum, pemerintah berupaya menindak tegas pelaku pembakaran lahan, baik korporasi maupun individu. Teknologi juga dimanfaatkan, seperti penggunaan citra satelit dan drone untuk memantau titik panas (hotspot) secara real-time. Ketika kebakaran terjadi, respons cepat melalui pengerahan tim darat, pemadaman udara (water bombing), dan pembangunan sekat kanal di lahan gambut dilakukan untuk mengisolasi api. Kerjasama internasional, baik dalam berbagi informasi maupun bantuan teknis, juga terus ditingkatkan.

“Ancaman karhutla bukan hanya musiman, melainkan tantangan jangka panjang yang diperparah oleh perubahan iklim dan kompleksitas di lapangan. Diperlukan kerja sama lintas sektor yang solid, penegakan hukum yang tegas, serta kesadaran kolektif dari seluruh elemen masyarakat untuk melindungi hutan kita dan memastikan masa depan yang berkelanjutan bagi bangsa.”

Namun, tantangan masih besar, meliputi luasnya area yang harus diawasi, keterbatasan sumber daya, serta perilaku masyarakat yang masih membakar lahan. Perubahan iklim yang semakin ekstrem juga menuntut adaptasi strategi yang lebih inovatif dan berkelanjutan. Dengan peningkatan kesadaran publik, inovasi teknologi, dan komitmen politik yang kuat, diharapkan Indonesia dapat semakin efektif dalam mengelola ancaman karhutla dan mewujudkan lingkungan yang lebih sehat dan lestari.

  • Karhutla di Indonesia merupakan ancaman berulang yang diperparah oleh fenomena El Nino dan dampak perubahan iklim global, menyebabkan musim kemarau yang lebih panjang dan intens.
  • Dampak karhutla sangat luas, meliputi masalah kesehatan masyarakat (ISPA), kerugian ekonomi yang signifikan (transportasi, pertanian, pariwisata), serta kerusakan lingkungan parah termasuk pelepasan emisi karbon.
  • Kabut asap lintas batas juga seringkali memicu ketegangan diplomatik dengan negara-negara tetangga yang turut merasakan dampak polusi udara.
  • Upaya mitigasi melibatkan strategi pencegahan proaktif seperti restorasi gambut dan pemberdayaan masyarakat, penegakan hukum yang lebih tegas, serta respons cepat terhadap titik api menggunakan teknologi modern.
  • Dibutuhkan komitmen berkelanjutan dari pemerintah, masyarakat, dan seluruh pemangku kepentingan, didukung oleh inovasi dan kerja sama internasional, untuk mengatasi tantangan karhutla secara efektif dan berkelanjutan.